Da Vinci Code Mengguncang Iman Kristiani
Oleh Amirah Latifah
Novel Dan Brown, The Da Vinci Code, menguak sejarah Yesus dan Gereja yang selama 2000 tahun terkunci rapat. Otoritas gereja kelimpungan membuat tangkisan.
Novel bermuatan agama nampaknya selalu mengundang kontroversi. Ini juga berlaku buat novel The Da Vinci Code. Mungkin, karena kontroversial, novel keempat Dan Brown ini menjadi novel terlaris tahun 2003 dengan total penjualan 5,7 juta eksemplar. Rekor penjualan selama 10 tahun yang dipegang novel The Bridges Over the Madison Country karya James Waller yang terjual 4,3 juta eksemplar pun terpecahkan .
Sejak terbit Maret 2003 lalu, sampai sekarang The Da Vinci Code sudah terjual lebih dari 20 juta kopi. Sepanjang 2003-2004, bisa jadi inilah buku yang paling sensasional. Selama 56 pekan (1 tahun 1 bulan), ia bertengger di puncak daftar buku fiksi terlaris versi The New York Times. Kini penerbitnya, Doubleday, masih terus mencetak buku yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa itu.
Di Indonesia, buku impor yang dibanderol Rp 65.500 untuk versi soft cover dan Rp 265.700 untuk hard cover juga laku keras. Sejak diterjemahkan penerbit Serambi, Juli lalu, kini sudah mengalami 9 kali cetak. Apalagi, setelah belasan media cetak berbahasa Inggris mengulas isinya. Di toko-toko buku, The Da Vinci Code dipajang mencolok. Beberapa toko buku di Jakarta sampai kehabisan stok thriller fiksi itu.
Saking larisnya, Columbia Pictures sudah melepas banyak duit untuk membeli hak ciptanya. Bintang-bintang Hollywood, seperti Russel Crowe, George Clooney, dan Tom Hanks yang biasanya jual mahal kalau ditawari main film, kini beramai-ramai melamar jadi pemain. Sebuah tim solid dengan sutradara Ron Howard, penulis skenario kelas berat, Brian Grazer dan John Galley, tengah bekerja keras untuk film yang bakal dirilis ada awal tahun 2006 itu.
Trio Howard, Grazer dan Goldsman adalah orang yang sama yang telah melahirkan Beautiful Mind pada tahun 2001. Film yang dibintangi aktor Australia, Russel Crowe itu menyabet dua buah Academy Award. Tak heran apabila Columbia Pictures yakin film The Da Vinci Code bakal mengguncang pasar. Saking optimisnya, perusahaan film inipun sudah membeli hak cipta karya Brown lainnya, Angels and Demons.
The Da Vinci Code memang fenomena. Sejak nongol sampai sekarang, novel tersebut memicu terbitnya 10 buku “perlawanan”. Semuanya mencoba mematahkan argumentasi yang ada di dalam The Da Vinci Code. Salah satu buku tandingan itu, Fact and Fiction in The Da Vinci Code karya Steven Kellemeier, telah diterjemahkan oleh penerbit Optima Press, Jakarta, Februari lalu.
Tak cuma itu. Beberapa gereja lokal pun menawarkan brosur dan studi pendampingan bagi mereka yang usai membaca novel itu, dan mempertanyakan iman kekristenannya. Sejumlah negara juga melarang peredarannya. Salah satunya adalah Libanon. Otoritas keamanan negara itu melarang novel yang isinya dinilai sangat bertentangan dengan keyakinan penganut Yesus dan melawan otoritas Gereja tersebut.
Mengapa para teolog, pastor, dan pendeta kelimpungan hingga sampai sibuk memberikan tangkisan? Jawabnya, “Buku itu telah menyerang sendi-sendi iman Kristen, sebab itu kami mesti bicara,” kata Erwin Lutzen, pastor senior Moody Church di Chicago, Amerika Serikat, penulis The Da Vinci Deception, seperti ditulis International Herald Tribune.
Meskipun cuma fiksi, Dan Brown yang populer lewat novel Digital Fortress membuka lembaran pertama novelnya dengan judul “Fakta”, “Biarawan Sion, perhimpunan rahasia yang dibentuk pada 1099, adalah organisasi nyata. Pada 1975, Bibliotheque Nationale dari Paris menemukan perkamen yang dikenal sebagai Les Dossiers Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah anggota Biarawan Sion, termasuk Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci”. Pada akhir halaman ini, ditulis : “Semua deskripsi, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia dalam novel ini akurat.”
Brown mengawali cerita dengan terbunuhnya Jacques Sauniere, seorang kurator di Museum Louvre, Paris. Di tubuh korban dan sekitar lantai, penuh coretan simbol yang menarik perhatian. Lalu muncul Profesor Robert Langdon, pakar simbolisme religi dari Universitas Harvard, Amerika, dan Sophie Neveu, seorang ahli membaca sandi atau cryptographer yang tertarik pada kasus itu. Si cerdas dan perempuan Paris nan cantik berambut burgundi itu pun sepakat menguak misteri itu.
Mereka mendapat informasi, ternyata korban mewarisi mantel Leonardo. Mantel itu menjadi penanda bahwa korban tak lain adalah pemimpin komunitas rahasia : Biarawan Sion. Kelompok itu bertugas menjaga The Holy Grail atau cawan suci. Dari situ, jalinan cerita makin seru dan rumit. Dalam penyelidikannya, Langdon dan Sophie dihadapkan pada berbagai alat bukti yang butuh penafsiran. Mereka juga bertemu dengan Sir Leigh Teabing, sejarahwan yang kaya raya.
Teabing inilah yang nantinya berperan dalam mengungkap tanda tersembunyi pada jalinan teks kitab suci dengan berbagai karya seni, arsitektur, dokumen, mitologi, sejarah gereja, dan ajaran dari sekte-sekte kristen. Dalam pencariannya, mereka harus terbang dari Paris ke London. Mereka dibuntuti seorang rahib bernama Silas dari kongregasi Opus Dei. Opus Dei itu didirikan seorang pastor asal Spanyol, Josemaria Escriva, 1928. Ini sekte Katolik yang amat taat, yang banyak menyulut kontroversi.
Cerita menjadi seru karena mereka juga diburu polisi khusus Prancis, yang menduga Langdon sebagai pembunuh Sauniere. Sebelum akhirnya cerita kembali lagi ke Louvre, tempat pembunuhan terjadi, pembaca dihadapkan pada serentetan kode, teka-teki, misteri, dan cerita konspirasi yang memukau. Sampai akhirnya, terbongkarlah konspirasi yang sudah berlangsung 2000 tahun yang terkait dengan sejarah agama Kristen, Yesus, dan Biarawan Sion di masa lalu yang melibatkan tokoh kondang., seperti Leonardo Da Vinci, Isaac Newton, Botticelli, dan Victor Hugo.
Brown lihai membangun cerita lewat dialog yang lahir dari Sophie dengan Langdon, Sophie dengan Teabing, dan antarmereka bertiga. Dalam dialog itulah, beragam tafsir kontroversial Brown muncul. Misalnya, di Bab 55, dialog Sophie dan Teabing membawa pembaca pada tafsir baru mengenai Konsili Nicaea tahun 325. Pertemuan uskup sedunia itu, menurut Brown, diselenggarakan atas gagasan kaisar Romawi, Kaisar Konstantin. Tujuannya untuk menekan puluhan ajaran keagamaan yang waktu itu muncul. Dalam kesempatan itu, kaisar mendesakkan doktrin soal keilahian Yesus Kristus.
Konsili itu, di mata Brown, penuh muatan politis, yakni hendak menaklukkan dan menyatukan rakyat dalam ideologi tunggal di bawah Kekaisaran Roma. Dengan membuat penyeragaman tersebut, Brown menambahkan, dominasi atas rakyat di wilayah kekuasaan Romawi relatif lebih mudah dilakukan. Gereja selama berabad-abad berpijak pada hasil konsili itu.
Tafsir lain yang juga kontroversial adalah soal Holy Grail atau Cawan Suci yang tampak dalam lukisan Perjamuan Terakhir (The Last Supper) karya Leonardo Da Vinci. Dalam bible dikisahkan, sebelum disalibkan, malam harinya Yesus melakukan perjamuan terakhir bersama ke-12 muridnya. Dalam perjamuan itu, mereka minum anggur dari cawan atau piala, dan memakan roti tak beragi. Menurut Brown, lukisan Da Vinci yang tak menampakkan piala itu menyimpan suatu pesan khusus. Ia berkeyakinan, cawan itu sekedar metafora, yang artinya adalah garis suci keturunan. Kata itu diambil dari terminologi bahasa Perancis abad pertengahan, Sangraal (Holy Grail), dari sang (blood berarti darah) dan raal (royal berarti suci). Darah suci atau garis suci keturunan itu, menurut Brown, asalnya dari Yesus dan Maria Magdalena, yang menurunkan Dinasti Merovingian di Perancis abad pertengahan. Bagi Brown, Cawan Suci yang selama ini ditutup-tutupi itu adalah Maria Magdalena itu sendiri.
Yesus telah menikahi Maria Magdalena. Cuma, hal ini sampai sekarang tertutup rapat. Otoritas Gereja menutupinya, karena bertentangan dengan doktrin Yesus sebagai Tuhan. Tak ayal, buku Brown ini telah meruntuhkan akidah kristiani bahwa ternyata Yesus punya istri dan anak. Anak keturunan Yesus itulah – salah satunya Leonardo Da Vinci – yang diburu dan dihabisi oleh kalangan mapan gereja.
Cerita mengenai ini ada pada legenda yang hidup di abad ke-11. Brown rupanya mengacu ke sana. Isinya menyebutkan bahwa Maria Magdalena kemudian datang ke Prancis dan mendarat di Marsailles. Ia muncul sebagai wanita Yahudi terhormat dari Galilea, Israel. Sampai kini masih diyakini bahwa keturunannya hidup di Prancis dan menurunkan beberapa nama besar, seperti Leonardo Da Vinci, Newton, dan Hugo.
Menurut para pengkritiknya, meskipun Brown meyakini semua jalinan cerita novel itu sebagai fakta kebenaran, materi dasar cerita itu dinilai tak kredibel, dan dinterpretasikan serampangan. Untuk kepentingan novel terbarunya itu, ia mengekplorasi beberapa buku, seperti The Gnostic Gospels karya Elaine Pagels, The Templar Revelation : Secret Guardians of the True Identity of Christ tulisan Lyn Pick-nett dan Clive Prince.
Buku lain yang mempengaruhi novel Brown adalah Holy Blood, Holy Grail dari Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln. Selain itu, masih ada lagi penulis perempuan yang mempengaruhi penggemar Shakespeare itu, yaitu Margaret Starbird dengan buku berjudul : The Goddes in the Gospels, Reclaiming the Sacred Feminine dan The woman with Holy Jar : Mary Magdalena and the Holy Grail. Oleh para pengkritiknya, buku-buku itu adalah “omong kosong yang keterlaluan.”
Sumber : Majalah Insani, April 2005
0 komentar:
Posting Komentar